REVIEW
11 :
Sistem Distribusi Pupuk, Dampak Kebijakan Terhadap Koprasi Unit Desa, Kesimpulan dan Saran, Daftar Pustaka
Sistem Distribusi Pupuk, Dampak Kebijakan Terhadap Koprasi Unit Desa, Kesimpulan dan Saran, Daftar Pustaka
DAMPAK KEBIJAKAN TATANIAGA PUPUK TERHADAP PERAN
KOPERASI UNIT DESA SEBAGAI DISTRIBUTOR PUPUK
NYAK ILHAM *)
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor
Berisi :
SISTEM DISTRIBUSI PUPUK
Sebelum Kebijakan Harga dan Tataniaga
Sebelum dikeluarkan kebijakan pasar bebas tataniaga pupuk
pada tanggal 1 Desember 1998, berpedoman pada Surat Keputusan Menperindag No.
378/1998, tanggal 6 Agustus 1998, PT. Pusri bertindak sebagai penanggung jawab
pengadaan dan distribusi pupuk bersubsidi. Artinya monopoli pengadaan dan
distribusi pupuk sampai ke Lini-III berada pada PT. Pusri. Penyaluran pupuk
bersubsidi dari Lini-III ke Lini-IV dilaksanakan oleh Koperasi/KUD Penyalur
yang ditunjuk oleh PT. Pusri. Selanjutnya penyaluran dari Lini-IV ke petani
dilaksanakan oleh pengecer yang ditunjuk oleh Koperasi/KUD Penyalur setelah mendapat
persetujuan PT. Pusri. Dalam hal penyaluran pupuk oleh Koperasi/KUD Penyalur dan
Pengecer tidak lancar, maka PT. Pusri akan menyalurkan sampai ke Lini-IV.
Rincian sistem distribusi pupuk sebelum kebijakan pasar bebas dapat dilihat
pada Gambar 1.
Dengan sistem distribusi yang lama, posisi KUD sebagai
distributor pupuk cukup kuat, karena hampir semua kios pengecer pupuk untuk tanaman
pangan sangat tergantung pada KUD. Berbagai kelemahan yang ada pada KUD harus
mereka terima, karena kios tidak mempunyai pilihan lain. Kelemahan KUD yang
selama ini mereka terima antara lain : masalah harga yang kurang menguntungkan
pengecer dan ketersediaan pupuk yang sering tidak tepat waktu. Dengan sistem
baru, kelemahan tersebut diharapkan dapat diatasi.
Setelah Kebijakan Harga dan Tataniaga
Ada empat faktor yang mendorong pemerintah menetapkan
kebijakan penghapusan subsidi dan melepaskan tataniaga pupuk sesuai mekanisme
pasar. Pertama, adanya diskriminasi harga pupuk untuk kebutuhan petani
pangan dan non-pangan, menyebabkan terjadinya aliran pupuk antra dua kebutuhan
tersebut. Kedua, disparitas harga pupuk di dalam negeri dengan harga di
luar negeri menyebabkan adanya perembesan pupuk ke luar negeri. Ketiga,
tingginya beban anggaran untuk subsidi pupuk yang makin membebani pemerintah. Keempat,
lingkungan perdagangan internasonal yang makin mengglobal. Setelah adanya
kebijakan pasar bebas, sistem distribusi pupuk tidak lagi menjadi monopoli PT.
Pusri. Setiap pelaku pasar boleh terlibat langsung dalam kegiatan impor dan penyaluran
pupuk. Namun demikian PT. Pusri tetap mengutamakan pelayanan kebutuhan pupuk
untuk Subsektor Tanaman Pangan melalui Koperasi/KUD Penyalur dengan alokasi sekitar
80 persen dan sisa 20 persen diberikan kepada Penyalur Non Koperasi/KUD
Penyalur. Khusus untuk daerah terpencil (remote area), PT. Pusri tetap
melakukan kegiatan penyaluran. Jika ada biaya distribusi tambahan untuk daerah
tersebut, PT. Pusri dapat mengajukan penggantian pada pemerintah.
Dalam sisem distribusi baru, pihak swasta dapat membeli
pupuk langsung ke Lini-II dan Lini-III. Bahkan pihak swasta dapat langsung
membeli ke pihak pabrikan Non-PUSRI (Lini-I) atau mengimpor langsung dari
eksportir/produsen di luar negeri. Hingga tahun 1998/1999, kegiatan impor yang
dilakukan importir Non-PUSRI hanya sampai pada tingkat pelabuhan (supply
point), sementara itu untuk distribusi selanjutnya hingga ke Lini-III masih ditangani
PT. Pusri. Namun untuk tahun 1999/2000, pihak swasta merencanakan akan mendistribusikan
hingga ke Lini-III. Anggota holding company PT. Pusri dapat juga
melakukan kegiatan distribusi, seperti yang dilakukan PT. Pupuk Kujang Cikampek
di Jawa Barat. Diduga harga jual dari produsen Non Pusri lebih murah dari harga
jual yang ditetapkan PT. Pusri. Kegiatan distibusi ini
langsung dilakukan oleh anak perusahaan PT. Pupuk Kujang Cikampek hingga ke
kios-kios besar yang letaknya sangat strategis di pusat sentra produksi gabah
di Jawa Barat, yaitu karawang dan Sukamandi Subang. Menurut informasi yang
diperoleh dari Manajer pupuk KUD di Karawang dan Pemilik kios di Kecamatan
Binong Subang, pihak distributor swasta tersebut ada yang langsung menyalurkan
ke kios kecil dan petani di desa. Rincian jalur distribusi pupuk setelah
kebijakan harga dan tataniaga, dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa jalur tataniaga yang selama ini melalui Lini-IV dapat diperpendek melalui jalur distributor swasta. Saat ini PT. Pupuk Kujang Cikampek dan PT. Petro Kimia Geresik memiliki distibutor sendiri yang mendistribusikan produksinya ke penyalur-penyalur PT. Pusri sebelumnya. Dengan demikian margin tataniaga pupuk dari produsen ke petani semakin kecil, sehingga petani cenderung akan membeli pupuk dengan harga yang relatif lebih murah dari harga sebelumnya. Bagi Kopeasi/KUD Penyalur pupuk, keadaan yang demikian jika tidak diikuti dengan strategi dan kebijakan lanjutan akan merupakan ancaman bagi kelangsungan usaha yang selama ini melaksanakan fungsi distribusi pupuk untuk petani di wilayah kerjanya. Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian adalah kredibilitas Koperasi/KUD Penyalur di mata petani dan kios pengecer menjadi turun.
DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KOPERASI UNIT DESA
Dampak terhadap Harga di Koperasi Unit Desa
Sebelum kebijakan harga dan tataniaga pupuk ditetapkan,
PT. Pusri beserta holding company menetapkan harga pupuk sama untuk
setiap daerah. Hal ini dapat dilakukan karena pengadaan dan distribusi
berada di bawah kontrol PT. Pusri. Dengan demikian semua biaya untuk
mencukupi kebutuhnan tiap-tiap daerah dapat diidentifikasi dan diperhitungkan.
Atas dasar perhitungan tersebut ditetapkan harga yang seragam secara
nasional. Setelah kebijakan tersebut ditetapkan, dengan sistem pasar
bebas dan pelaku pasar yang terlibat cenderung bertambah, maka berlaku
hukum penawaran dan permintaan dalam pembentukan harga. Fakta yang
terjadi menunjukkan harga pupuk cenderung bersaing dan berada di bawah
harga pupuk plafond KUT yang ditetapkan pemerintah. Secara umum, formulasi
yang digunakan dalam menentukan harga pupuk adalah sebagai berikut :
Harga Pupuk = Harga Beli + Biaya + Margin + PPN (10 %), dengan rincian
sebagai berikut :
1.
Harga
di Lini-II = Harga Beli + Biaya Distribusi Lini-I s.d. Lini-II + Margin + PPN (10%).
2.
Harga
di Lini-III= Harga Beli + Biaya Distribusi Lini-I s.d. Lini-III + Margin + PPN (10
%).
Perlakuan harga untuk setiap pembeli relatif sama. Secara
umum harga yang ditetapkan tidak melampaui harga pupuk yang ada pada plafond
KUT. Untuk penjualan pupuk dalam volume yang relatif besar dimungkinkan untuk
dilakukan negosiasi harga. Rincian harga beli (penebusan) pada Lini-II/III
berdasarkan volume pembelian dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Harga Beli Pupuk Urea Berdasarkan Volume
Pembelian pada Lini-II/III
Setelah Kebijakan Harga dan Tataniaga Desember 1998.
Dengan penetapan harga yang demikian, pelaku pasar yang
memiliki modal besar akan mampu membeli dengan harga yang relatif lebih murah.
Tidak demikian halnya dengan KUD, karena pada umumnya KUD memiliki modal yang
relatif terbatas. Oleh karena itu tanpa upaya dan perhatian pemerintah terhadap
permasalahan yang dihadapi KUD, maka KUD akan membeli dan menjual pupuk dengan
harga yang relatif lebih mahal dibandingkan pelaku pasar lain. Akibatnya banyak
kios-kios penyalur dan pengecer beralih membeli pupuk dari KUD ke distributor
Non KUD. Bahkan ada kasus petani peserta KUT pola khusus yang memperoleh kredit
dalam bentuk uang tunai membeli pupuk di luar KUD dengan harga yang relatif
lebih murah (Rp 1 003,-/Kg) dari harga KUT (Rp 1 115,-/Kg). Dengan harga jual
yang ditetapkan PT. Pusri dan adanya jalur penjualan melalui Non Pusri, harga
di pasar dapat berubah setiap saat. Perubahan harga tersebut sangat dipengaruhi
oleh jumlah barang yang ditawarkan di suatu tempat. Jaringan pemasaran yang
luas dan berpengalaman disertai modal usaha yang cukup menyebabkan KUD kalah
bersaing dengan distributor Non KUD. Pada tingkat harga beli KUD dari PT. Pusri
Rp 985,- sampai Rp 1 000,- per kilogram di Lini-III, KUD menjual ke kios dengan
harga Rp 1 005,- per kilogram, selanjutnya kios pengecer menjual ke petani
dengan harga Rp 1030,- per kilogram, untuk pupuk Urea. Sementara itu
distributor Non KUD membeli pada PT. Pusri di Lini-II dengan harga Rp 960 per
kilogram, dapat menjual dengan harga lebih murah, atau seandainya pun sama,
pihak swasta mampu memberikan kemudahan-kemudahan kepada pelanggannya.
Kemudahankemudahan yang diberikan dapat merupakan: cara pembayaran yang dapat
diangsur 2–3 kali, sementara KUD harus membayar tunai ke PT. Pusri; pada waktu
tertentu memberikan layanan hiburan atau wisata kepada pelanggan, hal ini belum
pernah dilakukan oleh KUD sebelumnya.
Beban yang dihadapi KUD selain dalam hal pembelian adalah
dalam penjualan. KUD harus menanggung beban bunga akibat adanya kios yang
membayar ke KUD 2–3 kali dengan tanpa menanggung beban bunga pinjaman; biaya
penyimpanan termasuk bongkar muat akibat pesanan kios yang relatif kecil dengan
jenis yang beragam, sehingga pupuk yang dipesan KUD dari PT. Pusri harus
disimpan sementara di gudang KUD; biaya distribusi dari KUD kekios-kios yang
terpencar dan dalam jumlah pesanan yang relatif kecil. Harga jual KUD yang
relatif mahal dan tidak adanya fasilitas khusus yang diberikan KUD kepada
pembeli, menyebabkan banyak pengecer membeli pupuk pada distributor Non KUD.
Akibatnya daya serap pupuk KUD pasca kebijakan lebih rendah dibanding sebelumnya.
Pada saat studi ini dilakukan, sebagian besar pupuk yang disalurkan melalui KUD
hanya merupakan pupuk untuk memenuhi kebutuhan paket KUT Pola Umum. Di mana kebutuhan
pupuk masih dipenuhi dalam bentuk natura. Untuk dapat bersaing dengan pelaku
pasar lain dalam sistem pasar bebas, sebagian KUD melakukan upaya-upaya sebagai
berkut:
a)
Memperbesar
modal dengan cara mengajukan Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB) kepada PT. Pusri
Lini-III sebanyak kebutuhan di wilayah kerjanya.
b)
Berdasarkan
SPJB tersebut, KUD mengajukan kredit modal kerja untuk pengadaan pupuk. Setelah
kredit cair, KUD hanya menebus 50 persen dari volume SPJB yang merupakan syarat
batas minimal penebusan untuk tetap menjadi KUD Penyalur PT. Pusri.
c)
Sisa
dana yang ada diantara beberapa KUD tersebut digabung untuk dapat membeli pupuk
dalam volume lebih besar. Dengan demikian gabungan KUD ini mampu membeli pupuk dengan
harga yang lebih murah.
Dari upaya yang dilakukan KUD membuktikan bahwa KUD
membutuhkan tambahan modal kerja untuk dapat bersaing dengan penyalur Non KUD
dalam melakukan aktivitas Perdagangan pupuk. Upaya tersebut dapat dilakukan
tidak lagi dengan menggunakan mekanisme penebusan seperti sebelum kebijakan
yang hingga kini masih dilaksanakan dalam memperoleh kredit modal kerja KUD. Koordinasi
kebutuhan pupuk antar KUD yang mempunyai wilayah kerja yang berdampingan atau
penggabungan pesanan kebutuhan pupuk melalui PUSKUD, merupakan langkah untuk
meningkatkan volume pembelian. Dengan demikian KUD dapat membeli dengan harga
yang lebih murah, sama halnya seperti yang dilakukan penyalur Non KUD pasca
kebijakan harga dan tataniaga pupuk.
Dampak terhadap Omset Penjualan Koperasi Unit Desa
Seperti diutarakan sebelumnya, PT. Pusri mengalokasikan
penyaluran pupuk untuk subsektor tanaman pangan melalui KUD sebanyak 80 persen,
namun demikian adanya pasar bebas dengan harga yang bersaing menyebabkan KUD
cenderung kalah bersaing dengan distributor Non KUD. Akibatnya pembelian KUD ke
PT. Pusri mengalami penurunan. Tabel 2 menunjukkan kemampuan pembelian KUD dari
target yang direncanakan dalam Surat Perjanjian Jual Beli yang telah disepakati
dengan pihak PT. Pusri. Secara agregat Tabel 2 menunjukkan bahwa, KUD yang ada
di kabupaten contoh tidak mampu mencapai target pembelian sesuai SPJB yang
disepakati. Bahkan untuk Kabupaten Karawang hanya mencapai 46 persen. Untuk
Kabupaten Subang mampu mencapai 72 persen, namun menurut informasi dari PT.
Pusri KPK Subang, sejak Musim Tanam 1999/2000 (April s.d Juni 1999) semua KUD
yang ada di Kabupaten Subang, daya serap pembelian pupuknya kurang dari 50
persen dari SPJB.
Tabel 2. Target dan Realisasi Komulatif Pembelian Pupuk
KUD dari PT. Pusri di
Kabupaten Contoh Periode Januari – Mei 1999.
Rendahnya realisasi tersebut dapat disebabkan oleh empat
faktor. Pertama, distributor Non Pusri dan Non KUD telah aktif masuk ke pasar.
Gambaran ini dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Data pada lampiran
tersebut menunjukkan adanya peran distributor Non Pusri dan Non KUD menyebabkan
tidak semua kebutuhan pupuk dipenuhi oleh PT. Pusri. Untuk Kabupaten Subang,
kebutuhan pupuk jenis Urea, SP-36, dan KCl yang dipenuhi PT. Pusri
masing-masing hanya 77 persen,43 persen, dan 86 persen. Hanya pupuk ZA yang
seluruhnya dipenuhi oleh PT. Pusri. Sementara itu di Kabupaten Karawang, kebutuhan
pupuk Urea dapat dipenuhi oleh PT. Pusri, sedangkan untuk jenis SP-36, ZA, dan KCl
hanya 46 persen, 92 persen, dan 28 persen yang dipenuhi oleh PT. Pusri. Khusus
untuk KUD, jatah yang dialokasikan sebanyak 80 persen, untuk dua lokasi dan
untuk semua jenis pupuk, tidak dapat dipenuhi oleh KUD. Kedua,
terbatasnya kemampuan produksi pabrik di dalam negeri dipenuhi oleh pengadaan
pupuk impor, khususnya untuk jenis pupuk TSP dan KCl. Ketiga, relatif
tingginya harga pupuk menyebabkan petani mengurangi penggunaan pupuk atau
mencari pupuk alternatif sebagai pengganti pupuk standar. Faktor ini pada
umumnya yang menyebabkan turunnya penggunaan pupuk jenis SP-36 dan KCl oleh
petani. Keempat, faktor musim juga mempengaruhi jumlah penggunaan pupuk,
namun pada saat studi tidak merupakan faktor yang mempengaruhi. Bagi PT. Pusri
rendahnya daya serap KUD dari rencana yang dibutuhkan merupakan hal yang
merugikan, karena menurunkan omset penjualannya. Menghadapi masalah ini, sebagai
lembaga bisnis, untuk Musim Tanam 1999/2000 PT. Pusri akan memberikan penalti untuk
mengeluarkan KUD sebagai Penyalur, jika ada KUD yang tidak mampu menyerap minimal
50 persen dari SPJB yang telah disepakati. Namun untuk tahap pertama, pihak PT.
Pusri baru memberikan surat peringatan. Sejalan dengan itu, untuk menghindari
kerugian, PT. Pusri mengambil kebijakan untuk menyalurkan pupuk melalui
penyalur Non KUD. Dari informasi dan data yang ada menunjukkan bahwa omset
penyaluran pupuk KUD mengalami penurunan. Hal ini berarti merupakan kerugian
dan akan menggangu kelangsungan usaha KUD dalam menyalurkan pupuk. Selain itu,
akibat omset yang rendah, KUD juga harus siap menghadapi tekanan dari PT. Pusri
yang tidak ingin menanggung beban akibat kebijakan pasar bebas yang ditetapkan
pemerintah. Oleh karena itu, agar kebijakan tataniaga pupuk konsisten dengan
kebijakan sebelumnya dan tidak merugikan diantara pelaku ekonomi, dalam hal ini
produsen, penyalur dan konsumen pupuk, maka diperlukan upayaupaya untuk
menanggulangi masalah yang dihadapi KUD paska kebijakan tataniaga pupuk.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kebijakan sistem tataniaga pupuk telah menciptakan iklim
yang kondusif untuk berkembangnya distributor swasta (Non Pusri dan Non KUD)
yang bersaing secara positif. Dampaknya dapat memperpendek dan memperbanyak
jalur distribusi pupuk Dengan demikian pengadaan pupuk oleh petani dapat
dilakukan dari berbagai sumber dan relatif selalu tersedia dengan harga yang
cenderung lebih murah. Namun demikian, dalam jangka panjang untuk menjaga
stabilitas ketersediaan dan harga pupuk ditingkat petani, pemerintah perlu
mewaspadai kemungkinan terjadinya kartel yang dibentuk oleh penyalur-penyalur swasta
yang suatu saat dapat menguasai pasar. Jika ini terjadi akan sulit bagi
pemerintah untuk menstabilkannya dalam waktu singkat. Masuknya swasta bermodal
dan berpengalaman dalam kegiatan distribusi pupuk sebagai pesaing KUD,
menyebabkan turunnya omset penjualan pupuk KUD. Karena dengan sistem penentuan
harga pupuk saat ini, swasta mampu membeli dan menjual dengan harga lebih murah
dari KUD. Pengalaman swasta dalam pemasaran, mampu mengisi sebagian besar lini
distribusi pupuk, sehingga menggeser peran yang dilakukan KUD sebelumnya. Jika tidak
ada upaya-upaya tertentu, maka kelangsungan usaha KUD dalam menyalurkan pupuk akan
terganggu.
Saran
Untuk mempertahankan peran KUD sebagai lembaga ekonomi
rakyat yang bergera dalam usaha distribusi pupuk, pemerintah perlu
memberdayakan KUD antara lain dengan cara meningkatkan modal kerja dan
menciptakan strategi agar pembelian pupuk KUD dapat dilakukan secara kolektif
untuk meningkatkan volume pembelian. Hal ini dapat dilakukan melalui koordinasi
antara KUD dalam satu wilayah kerja tertentu atau melalui Pusat Koperasi Unit
Desa (PUSKUD).
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 1999. Pengadaan dan Distribusi Pupuk Paska Kebijakan Desember
1998.
Laporan Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang
Departemen Pertanian. Bogor. (Tidak dipublikasi).
_________. 1999. Laporan Penjualan Pupuk MT. 1999 di Kabupaten Karawang.
PT. Pusri
KPK Karawang. (tidak dipublikasi).
_________. 1999. Laporan Penjualan Pupuk MT. 1999 di Kabupaten Subang. PT.
Pusri
KPK Subang. (tidak dipublikasi).
Caves, R. E. and R. W. Jones. 1981. World Trade and Payments : An
Introduction, Third
Edition. Little, Brown, and Company. Boston – Toronto.
Fatich, M. 1997. Liberalisasi Ekonomi, Berkah ataukah Musibah (Mengkaji
peran Hukum
di Era Perdagangan Bebas). Jurnal Ilmiah Buana, Edisi : XIII, Th. 1997: 3 –
8. Universitas Islam Malang.
Handerson, J. M. and R. E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory : A Mathematical
Approach. Third Edition. McGraw-Hill International Book Company. London.
Komaruddin. 1993. Pengantar Kebijakan Ekonomi. Bumi Aksara. Jakarta.
Tjiptoherijanto, P. 1997. Prospek Perekonomian Indonesia dalam Rangka
Globalisasi.
Rineka Cipta. Jakarta.
Lampiran 1.
Kebutuhan Pupuk dan Realisasi Kebutuhan melalui PT. Pusri, KUD dan Penyalur
lain di Kabupaten Subang, Priode
Januri – Meu 1999.
Lampiran 2.
Kebutuhan Pupuk dan Realisasi Kebutuhan melalui PT. Pusri, KUD dan Penyalur
lain di Kabupaten Karawang, Priode Januri – Meu 1999.
Nama / NPM :
Riski Ludvitasari
/ 26211274
Kelas / Tahun :
2EB09 / 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar