Jumat, 28 Desember 2012

Riview Jurnal Ekonomi Koperasi (11)



REVIEW 11 : 
 Sistem Distribusi Pupuk, Dampak Kebijakan Terhadap Koprasi Unit Desa, Kesimpulan dan Saran, Daftar Pustaka


DAMPAK KEBIJAKAN TATANIAGA PUPUK TERHADAP PERAN
KOPERASI UNIT DESA SEBAGAI DISTRIBUTOR PUPUK

Oleh :
NYAK ILHAM *)
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor

Berisi :
SISTEM DISTRIBUSI PUPUK

Sebelum Kebijakan Harga dan Tataniaga
Sebelum dikeluarkan kebijakan pasar bebas tataniaga pupuk pada tanggal 1 Desember 1998, berpedoman pada Surat Keputusan Menperindag No. 378/1998, tanggal 6 Agustus 1998, PT. Pusri bertindak sebagai penanggung jawab pengadaan dan distribusi pupuk bersubsidi. Artinya monopoli pengadaan dan distribusi pupuk sampai ke Lini-III berada pada PT. Pusri. Penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini-III ke Lini-IV dilaksanakan oleh Koperasi/KUD Penyalur yang ditunjuk oleh PT. Pusri. Selanjutnya penyaluran dari Lini-IV ke petani dilaksanakan oleh pengecer yang ditunjuk oleh Koperasi/KUD Penyalur setelah mendapat persetujuan PT. Pusri. Dalam hal penyaluran pupuk oleh Koperasi/KUD Penyalur dan Pengecer tidak lancar, maka PT. Pusri akan menyalurkan sampai ke Lini-IV. Rincian sistem distribusi pupuk sebelum kebijakan pasar bebas dapat dilihat pada Gambar 1.

Dengan sistem distribusi yang lama, posisi KUD sebagai distributor pupuk cukup kuat, karena hampir semua kios pengecer pupuk untuk tanaman pangan sangat tergantung pada KUD. Berbagai kelemahan yang ada pada KUD harus mereka terima, karena kios tidak mempunyai pilihan lain. Kelemahan KUD yang selama ini mereka terima antara lain : masalah harga yang kurang menguntungkan pengecer dan ketersediaan pupuk yang sering tidak tepat waktu. Dengan sistem baru, kelemahan tersebut diharapkan dapat diatasi.

Setelah Kebijakan Harga dan Tataniaga
Ada empat faktor yang mendorong pemerintah menetapkan kebijakan penghapusan subsidi dan melepaskan tataniaga pupuk sesuai mekanisme pasar. Pertama, adanya diskriminasi harga pupuk untuk kebutuhan petani pangan dan non-pangan, menyebabkan terjadinya aliran pupuk antra dua kebutuhan tersebut. Kedua, disparitas harga pupuk di dalam negeri dengan harga di luar negeri menyebabkan adanya perembesan pupuk ke luar negeri. Ketiga, tingginya beban anggaran untuk subsidi pupuk yang makin membebani pemerintah. Keempat, lingkungan perdagangan internasonal yang makin mengglobal. Setelah adanya kebijakan pasar bebas, sistem distribusi pupuk tidak lagi menjadi monopoli PT. Pusri. Setiap pelaku pasar boleh terlibat langsung dalam kegiatan impor dan penyaluran pupuk. Namun demikian PT. Pusri tetap mengutamakan pelayanan kebutuhan pupuk untuk Subsektor Tanaman Pangan melalui Koperasi/KUD Penyalur dengan alokasi sekitar 80 persen dan sisa 20 persen diberikan kepada Penyalur Non Koperasi/KUD Penyalur. Khusus untuk daerah terpencil (remote area), PT. Pusri tetap melakukan kegiatan penyaluran. Jika ada biaya distribusi tambahan untuk daerah tersebut, PT. Pusri dapat mengajukan penggantian pada pemerintah.
Dalam sisem distribusi baru, pihak swasta dapat membeli pupuk langsung ke Lini-II dan Lini-III. Bahkan pihak swasta dapat langsung membeli ke pihak pabrikan Non-PUSRI (Lini-I) atau mengimpor langsung dari eksportir/produsen di luar negeri. Hingga tahun 1998/1999, kegiatan impor yang dilakukan importir Non-PUSRI hanya sampai pada tingkat pelabuhan (supply point), sementara itu untuk distribusi selanjutnya hingga ke Lini-III masih ditangani PT. Pusri. Namun untuk tahun 1999/2000, pihak swasta merencanakan akan mendistribusikan hingga ke Lini-III. Anggota holding company PT. Pusri dapat juga melakukan kegiatan distribusi, seperti yang dilakukan PT. Pupuk Kujang Cikampek di Jawa Barat. Diduga harga jual dari produsen Non Pusri lebih murah dari harga jual yang ditetapkan PT. Pusri. Kegiatan distibusi ini
langsung dilakukan oleh anak perusahaan PT. Pupuk Kujang Cikampek hingga ke kios-kios besar yang letaknya sangat strategis di pusat sentra produksi gabah di Jawa Barat, yaitu karawang dan Sukamandi Subang. Menurut informasi yang diperoleh dari Manajer pupuk KUD di Karawang dan Pemilik kios di Kecamatan Binong Subang, pihak distributor swasta tersebut ada yang langsung menyalurkan ke kios kecil dan petani di desa. Rincian jalur distribusi pupuk setelah kebijakan harga dan tataniaga, dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.






Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa jalur tataniaga yang selama ini melalui Lini-IV dapat diperpendek melalui jalur distributor swasta. Saat ini PT. Pupuk Kujang Cikampek dan PT. Petro Kimia Geresik memiliki distibutor sendiri yang mendistribusikan produksinya ke penyalur-penyalur PT. Pusri sebelumnya. Dengan demikian margin tataniaga pupuk dari produsen ke petani semakin kecil, sehingga petani cenderung akan membeli pupuk dengan harga yang relatif lebih murah dari harga sebelumnya. Bagi Kopeasi/KUD Penyalur pupuk, keadaan yang demikian jika tidak diikuti dengan strategi dan kebijakan lanjutan akan merupakan ancaman bagi kelangsungan usaha yang selama ini melaksanakan fungsi distribusi pupuk untuk petani di wilayah kerjanya. Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian adalah kredibilitas Koperasi/KUD Penyalur di mata petani dan kios pengecer menjadi turun.


DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KOPERASI UNIT DESA

Dampak terhadap Harga di Koperasi Unit Desa
Sebelum kebijakan harga dan tataniaga pupuk ditetapkan, PT. Pusri beserta holding company menetapkan harga pupuk sama untuk setiap daerah. Hal ini dapat dilakukan karena pengadaan dan distribusi berada di bawah kontrol PT. Pusri. Dengan demikian semua biaya untuk mencukupi kebutuhnan tiap-tiap daerah dapat diidentifikasi dan diperhitungkan. Atas dasar perhitungan tersebut ditetapkan harga yang seragam secara nasional. Setelah kebijakan tersebut ditetapkan, dengan sistem pasar bebas dan pelaku pasar yang terlibat cenderung bertambah, maka berlaku hukum penawaran dan permintaan dalam pembentukan harga. Fakta yang terjadi menunjukkan harga pupuk cenderung bersaing dan berada di bawah harga pupuk plafond KUT yang ditetapkan pemerintah. Secara umum, formulasi yang digunakan dalam menentukan harga pupuk adalah sebagai berikut :

Harga Pupuk = Harga Beli + Biaya + Margin + PPN (10 %), dengan rincian
sebagai berikut :
1.      Harga di Lini-II = Harga Beli + Biaya Distribusi Lini-I s.d. Lini-II + Margin + PPN (10%).
2.      Harga di Lini-III= Harga Beli + Biaya Distribusi Lini-I s.d. Lini-III + Margin + PPN (10 %).
Perlakuan harga untuk setiap pembeli relatif sama. Secara umum harga yang ditetapkan tidak melampaui harga pupuk yang ada pada plafond KUT. Untuk penjualan pupuk dalam volume yang relatif besar dimungkinkan untuk dilakukan negosiasi harga. Rincian harga beli (penebusan) pada Lini-II/III berdasarkan volume pembelian dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Harga Beli Pupuk Urea Berdasarkan Volume Pembelian pada Lini-II/III
Setelah Kebijakan Harga dan Tataniaga Desember 1998.
Dengan penetapan harga yang demikian, pelaku pasar yang memiliki modal besar akan mampu membeli dengan harga yang relatif lebih murah. Tidak demikian halnya dengan KUD, karena pada umumnya KUD memiliki modal yang relatif terbatas. Oleh karena itu tanpa upaya dan perhatian pemerintah terhadap permasalahan yang dihadapi KUD, maka KUD akan membeli dan menjual pupuk dengan harga yang relatif lebih mahal dibandingkan pelaku pasar lain. Akibatnya banyak kios-kios penyalur dan pengecer beralih membeli pupuk dari KUD ke distributor Non KUD. Bahkan ada kasus petani peserta KUT pola khusus yang memperoleh kredit dalam bentuk uang tunai membeli pupuk di luar KUD dengan harga yang relatif lebih murah (Rp 1 003,-/Kg) dari harga KUT (Rp 1 115,-/Kg). Dengan harga jual yang ditetapkan PT. Pusri dan adanya jalur penjualan melalui Non Pusri, harga di pasar dapat berubah setiap saat. Perubahan harga tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah barang yang ditawarkan di suatu tempat. Jaringan pemasaran yang luas dan berpengalaman disertai modal usaha yang cukup menyebabkan KUD kalah bersaing dengan distributor Non KUD. Pada tingkat harga beli KUD dari PT. Pusri Rp 985,- sampai Rp 1 000,- per kilogram di Lini-III, KUD menjual ke kios dengan harga Rp 1 005,- per kilogram, selanjutnya kios pengecer menjual ke petani dengan harga Rp 1030,- per kilogram, untuk pupuk Urea. Sementara itu distributor Non KUD membeli pada PT. Pusri di Lini-II dengan harga Rp 960 per kilogram, dapat menjual dengan harga lebih murah, atau seandainya pun sama, pihak swasta mampu memberikan kemudahan-kemudahan kepada pelanggannya. Kemudahankemudahan yang diberikan dapat merupakan: cara pembayaran yang dapat diangsur 2–3 kali, sementara KUD harus membayar tunai ke PT. Pusri; pada waktu tertentu memberikan layanan hiburan atau wisata kepada pelanggan, hal ini belum pernah dilakukan oleh KUD sebelumnya.
Beban yang dihadapi KUD selain dalam hal pembelian adalah dalam penjualan. KUD harus menanggung beban bunga akibat adanya kios yang membayar ke KUD 2–3 kali dengan tanpa menanggung beban bunga pinjaman; biaya penyimpanan termasuk bongkar muat akibat pesanan kios yang relatif kecil dengan jenis yang beragam, sehingga pupuk yang dipesan KUD dari PT. Pusri harus disimpan sementara di gudang KUD; biaya distribusi dari KUD kekios-kios yang terpencar dan dalam jumlah pesanan yang relatif kecil. Harga jual KUD yang relatif mahal dan tidak adanya fasilitas khusus yang diberikan KUD kepada pembeli, menyebabkan banyak pengecer membeli pupuk pada distributor Non KUD. Akibatnya daya serap pupuk KUD pasca kebijakan lebih rendah dibanding sebelumnya. Pada saat studi ini dilakukan, sebagian besar pupuk yang disalurkan melalui KUD hanya merupakan pupuk untuk memenuhi kebutuhan paket KUT Pola Umum. Di mana kebutuhan pupuk masih dipenuhi dalam bentuk natura. Untuk dapat bersaing dengan pelaku pasar lain dalam sistem pasar bebas, sebagian KUD melakukan upaya-upaya sebagai berkut:
a)      Memperbesar modal dengan cara mengajukan Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB) kepada PT. Pusri Lini-III sebanyak kebutuhan di wilayah kerjanya.
b)      Berdasarkan SPJB tersebut, KUD mengajukan kredit modal kerja untuk pengadaan pupuk. Setelah kredit cair, KUD hanya menebus 50 persen dari volume SPJB yang merupakan syarat batas minimal penebusan untuk tetap menjadi KUD Penyalur PT. Pusri.
c)      Sisa dana yang ada diantara beberapa KUD tersebut digabung untuk dapat membeli pupuk dalam volume lebih besar. Dengan demikian gabungan KUD ini mampu membeli pupuk dengan harga yang lebih murah.
Dari upaya yang dilakukan KUD membuktikan bahwa KUD membutuhkan tambahan modal kerja untuk dapat bersaing dengan penyalur Non KUD dalam melakukan aktivitas Perdagangan pupuk. Upaya tersebut dapat dilakukan tidak lagi dengan menggunakan mekanisme penebusan seperti sebelum kebijakan yang hingga kini masih dilaksanakan dalam memperoleh kredit modal kerja KUD. Koordinasi kebutuhan pupuk antar KUD yang mempunyai wilayah kerja yang berdampingan atau penggabungan pesanan kebutuhan pupuk melalui PUSKUD, merupakan langkah untuk meningkatkan volume pembelian. Dengan demikian KUD dapat membeli dengan harga yang lebih murah, sama halnya seperti yang dilakukan penyalur Non KUD pasca kebijakan harga dan tataniaga pupuk.

Dampak terhadap Omset Penjualan Koperasi Unit Desa
Seperti diutarakan sebelumnya, PT. Pusri mengalokasikan penyaluran pupuk untuk subsektor tanaman pangan melalui KUD sebanyak 80 persen, namun demikian adanya pasar bebas dengan harga yang bersaing menyebabkan KUD cenderung kalah bersaing dengan distributor Non KUD. Akibatnya pembelian KUD ke PT. Pusri mengalami penurunan. Tabel 2 menunjukkan kemampuan pembelian KUD dari target yang direncanakan dalam Surat Perjanjian Jual Beli yang telah disepakati dengan pihak PT. Pusri. Secara agregat Tabel 2 menunjukkan bahwa, KUD yang ada di kabupaten contoh tidak mampu mencapai target pembelian sesuai SPJB yang disepakati. Bahkan untuk Kabupaten Karawang hanya mencapai 46 persen. Untuk Kabupaten Subang mampu mencapai 72 persen, namun menurut informasi dari PT. Pusri KPK Subang, sejak Musim Tanam 1999/2000 (April s.d Juni 1999) semua KUD yang ada di Kabupaten Subang, daya serap pembelian pupuknya kurang dari 50 persen dari SPJB.

Tabel 2. Target dan Realisasi Komulatif Pembelian Pupuk KUD dari PT. Pusri di
Kabupaten Contoh Periode Januari – Mei 1999.

Rendahnya realisasi tersebut dapat disebabkan oleh empat faktor. Pertama, distributor Non Pusri dan Non KUD telah aktif masuk ke pasar. Gambaran ini dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Data pada lampiran tersebut menunjukkan adanya peran distributor Non Pusri dan Non KUD menyebabkan tidak semua kebutuhan pupuk dipenuhi oleh PT. Pusri. Untuk Kabupaten Subang, kebutuhan pupuk jenis Urea, SP-36, dan KCl yang dipenuhi PT. Pusri masing-masing hanya 77 persen,43 persen, dan 86 persen. Hanya pupuk ZA yang seluruhnya dipenuhi oleh PT. Pusri. Sementara itu di Kabupaten Karawang, kebutuhan pupuk Urea dapat dipenuhi oleh PT. Pusri, sedangkan untuk jenis SP-36, ZA, dan KCl hanya 46 persen, 92 persen, dan 28 persen yang dipenuhi oleh PT. Pusri. Khusus untuk KUD, jatah yang dialokasikan sebanyak 80 persen, untuk dua lokasi dan untuk semua jenis pupuk, tidak dapat dipenuhi oleh KUD. Kedua, terbatasnya kemampuan produksi pabrik di dalam negeri dipenuhi oleh pengadaan pupuk impor, khususnya untuk jenis pupuk TSP dan KCl. Ketiga, relatif tingginya harga pupuk menyebabkan petani mengurangi penggunaan pupuk atau mencari pupuk alternatif sebagai pengganti pupuk standar. Faktor ini pada umumnya yang menyebabkan turunnya penggunaan pupuk jenis SP-36 dan KCl oleh petani. Keempat, faktor musim juga mempengaruhi jumlah penggunaan pupuk, namun pada saat studi tidak merupakan faktor yang mempengaruhi. Bagi PT. Pusri rendahnya daya serap KUD dari rencana yang dibutuhkan merupakan hal yang merugikan, karena menurunkan omset penjualannya. Menghadapi masalah ini, sebagai lembaga bisnis, untuk Musim Tanam 1999/2000 PT. Pusri akan memberikan penalti untuk mengeluarkan KUD sebagai Penyalur, jika ada KUD yang tidak mampu menyerap minimal 50 persen dari SPJB yang telah disepakati. Namun untuk tahap pertama, pihak PT. Pusri baru memberikan surat peringatan. Sejalan dengan itu, untuk menghindari kerugian, PT. Pusri mengambil kebijakan untuk menyalurkan pupuk melalui penyalur Non KUD. Dari informasi dan data yang ada menunjukkan bahwa omset penyaluran pupuk KUD mengalami penurunan. Hal ini berarti merupakan kerugian dan akan menggangu kelangsungan usaha KUD dalam menyalurkan pupuk. Selain itu, akibat omset yang rendah, KUD juga harus siap menghadapi tekanan dari PT. Pusri yang tidak ingin menanggung beban akibat kebijakan pasar bebas yang ditetapkan pemerintah. Oleh karena itu, agar kebijakan tataniaga pupuk konsisten dengan kebijakan sebelumnya dan tidak merugikan diantara pelaku ekonomi, dalam hal ini produsen, penyalur dan konsumen pupuk, maka diperlukan upayaupaya untuk menanggulangi masalah yang dihadapi KUD paska kebijakan tataniaga pupuk.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kebijakan sistem tataniaga pupuk telah menciptakan iklim yang kondusif untuk berkembangnya distributor swasta (Non Pusri dan Non KUD) yang bersaing secara positif. Dampaknya dapat memperpendek dan memperbanyak jalur distribusi pupuk Dengan demikian pengadaan pupuk oleh petani dapat dilakukan dari berbagai sumber dan relatif selalu tersedia dengan harga yang cenderung lebih murah. Namun demikian, dalam jangka panjang untuk menjaga stabilitas ketersediaan dan harga pupuk ditingkat petani, pemerintah perlu mewaspadai kemungkinan terjadinya kartel yang dibentuk oleh penyalur-penyalur swasta yang suatu saat dapat menguasai pasar. Jika ini terjadi akan sulit bagi pemerintah untuk menstabilkannya dalam waktu singkat. Masuknya swasta bermodal dan berpengalaman dalam kegiatan distribusi pupuk sebagai pesaing KUD, menyebabkan turunnya omset penjualan pupuk KUD. Karena dengan sistem penentuan harga pupuk saat ini, swasta mampu membeli dan menjual dengan harga lebih murah dari KUD. Pengalaman swasta dalam pemasaran, mampu mengisi sebagian besar lini distribusi pupuk, sehingga menggeser peran yang dilakukan KUD sebelumnya. Jika tidak ada upaya-upaya tertentu, maka kelangsungan usaha KUD dalam menyalurkan pupuk akan terganggu.

Saran
Untuk mempertahankan peran KUD sebagai lembaga ekonomi rakyat yang bergera dalam usaha distribusi pupuk, pemerintah perlu memberdayakan KUD antara lain dengan cara meningkatkan modal kerja dan menciptakan strategi agar pembelian pupuk KUD dapat dilakukan secara kolektif untuk meningkatkan volume pembelian. Hal ini dapat dilakukan melalui koordinasi antara KUD dalam satu wilayah kerja tertentu atau melalui Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD).

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1999. Pengadaan dan Distribusi Pupuk Paska Kebijakan Desember 1998.
Laporan Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang
Departemen Pertanian. Bogor. (Tidak dipublikasi).

_________. 1999. Laporan Penjualan Pupuk MT. 1999 di Kabupaten Karawang. PT. Pusri
KPK Karawang. (tidak dipublikasi).

_________. 1999. Laporan Penjualan Pupuk MT. 1999 di Kabupaten Subang. PT. Pusri
KPK Subang. (tidak dipublikasi).

Caves, R. E. and R. W. Jones. 1981. World Trade and Payments : An Introduction, Third
Edition. Little, Brown, and Company. Boston – Toronto.

Fatich, M. 1997. Liberalisasi Ekonomi, Berkah ataukah Musibah (Mengkaji peran Hukum
di Era Perdagangan Bebas). Jurnal Ilmiah Buana, Edisi : XIII, Th. 1997: 3 – 8. Universitas Islam Malang.

Handerson, J. M. and R. E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory : A Mathematical Approach. Third Edition. McGraw-Hill International Book Company. London.

Komaruddin. 1993. Pengantar Kebijakan Ekonomi. Bumi Aksara. Jakarta.

Tjiptoherijanto, P. 1997. Prospek Perekonomian Indonesia dalam Rangka Globalisasi.
Rineka Cipta. Jakarta.

Lampiran 1.
Kebutuhan Pupuk dan Realisasi Kebutuhan melalui PT. Pusri, KUD dan Penyalur     lain di Kabupaten Subang, Priode Januri – Meu 1999.

Lampiran 2.
Kebutuhan Pupuk dan Realisasi Kebutuhan melalui PT. Pusri, KUD dan Penyalur lain di Kabupaten Karawang, Priode Januri – Meu 1999.



Nama / NPM              : Riski Ludvitasari / 26211274
Kelas / Tahun            : 2EB09 / 2009